VIJF
By:
andigrow
Vijf.
Lima. Angka yang mempertemukan dan memisahkan kita. Angka yang membuatku
bahagia dan bersedih di satu masa. Aku masih mendengar suara Glenn Fredly
melantunkan lagu itu dari laptopku. Berulang-ulang, sudah lima kali kukira. Ya,
hanya ini yang menjadi penyemangat hidupku saat ini. Perpisahan mendadak
setelah pertemuan singkat.
“
Tuhan bila masih kudiberi kesempatan. Izinkan aku untuk mencintanya. Namun bila
waktuku telah habis dengannya, biar cinta...”
Kali
ini aku ikut bernyanyi, mencoba meresapi setiap kata dalam bait itu, juga
mencoba mengatakan pada diriku, pada jiwaku bahwa dia telah pergi. Pergi untuk
selamanya . Dia Chika, seorang cewek pecinta alam yang telah menjadi sahabat hatiku
lima bulan ini. Dan aku, Andhika. Orang-orang memanggilku Dhika. Hanya Chika
yang memanggilku And, dia pikir Dhika lebih terdengar seperti nama seorang
cewek. Pikiranku menerawang, mencoba mengurai kembali memori indah saat pertama
kali bertemu dengannya. Dia itu bisa dibilang sahabat masa kecilku, aku pertama
kali bertemu dengannya di suatu kursus menggambar saat kami baru kelas lima
sekolah dasar. Aku tak terlalu pintar menggambar, tapi aku bercita-cita menjadi
seorang Arsitek, oleh sebab itu aku mengikuti kursus ini. Aku tak begitu
mengenalnya, tetapi sejak pertama kali bertemu, aku tertarik padanya. Mungkin
karena dia satu-satunya cewek yang mengikuti kursus ini, tak lebih dari itu.
Kalau dilihat dari wajahnya, dia pasti tipe cewek yang usil plus slengekan. Dan
tebakanku benar. Menjadi satu-satunya cewek di kelas itu, dia bukannya jadi
pendiam tapi malah sok jadi tuan puteri yang ingin dihormati dan dihargai. Dia
mengungkapkan hal-hal yang tidak penting saat guru kami menerangkan bagaimana
cara menggambar tubuh manusia, Dan masih banyak lagi sederet
keanehan-keanehannya. Masa kursus kami berakhir. Kami akhirnya berpisah.
Setelah itu aku tak pernah melihatnya lagi selama lima tahun.
Lima
tahun setelahnya, saat mengikuti pendaftaran di SMA Pelita Harapan, aku
melihatnya. Aku melihat dia berdiri diantara kerumunan siswa yang mengantri di
loket pendaftaran. Dia sangat terlihat berbeda. Lebih tinggi, lebih cantik,
lebih terlihat seperti seorang cewek yang sedang melewati masa pubertas
dibanding cewek ingusan yang kutemui lima tahun lalu. Aku senang bisa bertemu
dengannya, meski mungkin dia sudah tak mengenaliku. Tiba-tiba dia menoleh,
kulemparkan senyum tipisku. Dan reaksinya sungguh mengejutkan, dia membalasku
dengan ekspresi seolah-olah mengatakan “ siapa kau?”. Wah ternyata dia sudah
lupa padaku.
Sebulan
kemudian kami dinyatakan lulus kriteria menjadi murid SMA Pelita Harapan. Dan
secara kebetulan kami ditempatkan di kelas yang sama yaitu kelas Sepuluh B.
“
Heiii, kamu yang ikut kursus menggambar, namamu Andhika kan?” suara itu
mengejutkanku. Aku menoleh,
“
Ya ada apa? Ku kira kau sudah tak mengenaliku!” jawabku ketus
“
Hahaha,, awalnya memang seperti itu, tapi aku masih cukup hafal wajahmu. Aku
hanya terkejut, ternyata kau bisa kurus juga ya..”
“
Eh, apa maksudmu?’ ternyata sifat usil plus slengekan belum hilang juga ya
ckckck,
“
Kamu dulu gendut” Katanya sambil menggembungkan pipi, menyamai pipiku yang
lumayan tembem
“
Biarin, itu bukan urusanmu” Kataku sambil berlari jauh
“
Iihh galak bener” sayup-sayupku dengar Chika meneriakiku
Semenjak
kejadian menyebalkan itu kami menjadi semakin akrab. Dia suka mengejek dan aku
pantas menjadi objek ejekan. Ya klop deh!. Aku menyukai dia sebagai seorang
sahabat , tak pernah sekalipun aku berharap menjadi kekasihnya. Tetapi sesuatu
telah terjadi, Tuhan telah menggambarkan hidupku jauh lebih mengejutkan
daripada yang kubayangkan. Sebuah kejutan indah. Suatu hari dia menyatakan
perasaannya kepadaku. 5 Mei 2005 menjadi saksi bisu akan cinta yang baru saja
merekah. Lewat sepucuk memo di lokerku, dia menumpahkan seluruh isi hatinya.
“ Dear And
Kelas
lima sekolah dasar kita dipertemukan, setelah lima tahun berpisah, takdir
membawamu kembali padaku. Sekarang di tanggal 5 bulan 5 ini aku berikrar bahwa
aku tak akan pernah meninggalkanmu lagi. Minimal, aku tak akan membiarkanmu
pergi dari hidupku lagi. Ikhou van jou,
And. Aku berharap kita akan bersama selama-lamanya.”
Aku
sangat bahagia saat itu. Dari dulu aku sudah tertarik padanya, tapi baru
akhir-akhir ini aku menyadari itu cinta. Aku berbalik. Begitu terkejut
mengetahui bahwa ternyata dia dibelakangku. “Ya!”, jawabku pelan. Dan dia
membalasnya dengan senyum termanis yang pernah dia berikan padaku.
Terhitung
4 bulan 27 hari aku menjadi kekasihnya. Hari-hariku diisi dengan penuh
kebahagiaan, penuh dengan ucapan bersyukur akan pemberian sahabat hati yang
sangat mengerti.
“ Saying I Love You is not the words
I want to hear from you. Is no thing I want you
not to say but if you only knew”
Dia
menyanyikan lagu yang dipopulerkan westlife untukku
“ Mantap plus gombal!!” sahutku
“ Enggak kok. Eh tanggal 3 besok aku
mau mendaki ke merbabu. Doakan aku yaa”
“ Merbabu? Oh okey, tak perlu kau
minta pasti sudah aku doakan”
“ Ikhou van jou, And....”
Hari
ini 5 Oktober, aku sangat cemas. Chika harusnya sudah tiba dari merbabu sore
ini. Tapi ini hampir tengah malam dan belum ada kabar dari timnya itu. Kami,
teman-teman dan orang tua tim pendaki menunggu cemas di depan gerbang sekolah.
Tiba-tiba ambulan datang, seorang perawat bertanya keras
“ Siapa kerabat Chika Nur
Alfihusna?”
Aku
terkejut. Aku dan orang tua Chika mendekat ke ambulan itu. Perawat yang tampak
letih itu berjalan membuka pintu ambulan.” Chika jatuh dari tebing, kepalanya
terbentur. Maaf putri anda tidak tertolong”. Kulihat tubuh kaku Chika. Dadaku
sesak, aku bahkan tidak bisa menangis. Tiba-tiba semua menjadi gelap. Setelah
itu aku tak ingat apa-apa.
Aku
tersentak kembali ke kehidupanku sekarang. Lima hari setelah kematian Chika dan
melupakannya masih tampak begitu mustahil bagiku. Angin hangat tiba-tiba berhembus, membawa wewangian harum, menerbangkan
sekuntum bunga liar kepadaku. Iseng kuhitung kelopaknya. Ada 5.” Vijf, Ikhou
van jou, Chika”, bisikku pelan.